Korban Zonasi PPDB DKI 2020: Seleksi Berdasarkan Usia

Haloo! Akhirnya kembali nulis di blog lagi. Kali ini saya akan membahas tentang PPDB DKI 2020 yang cukup kontroversial dan menuai sejumlah protes dari banyak orang tua murid, yaitu seperti yang bisa diliat di judul tentang Jalur Zonasi PPDB DKI 2020 yang menggunakan seleksi berdasarkan usia.

Jujur aja waktu pertama kali denger tentang berita PPDB DKI menggunakan usia sebagai syarat seleksi awalnya biasa aja. Apalagi sempet liat di berita kalo usia ini gak dipake sebagai kriteria utama, hanya digunakan kalo kuata pendaftar berlebih maka akan diurutkan berdasarkan usia. Jadi, saat itu tenang-tenang aja.

Nah, puncaknya pas ngerasain sendiri adik saya ikut pendaftaran untuk ke SMP tahun ini melalui jalur zonasi. SANGAT kaget saat liat hasil seleksi sementara jalur zonasi yang menunjukkan usia yang dijadikan patokan utama saat pendaftaran. Adik saya yang saat itu belum menyentuh 12 tahun (tepatnya 11 tahun 11 bulan) cuma bisa nangis karena liat TIDAK ADA SAMA SEKALI sekolah di zonasi saya yang mencukupi untuk usia adik saya.

Di situ saya mikir, sebenarnya siapa yang salah? Jalur zonasi yang setau saya untuk menjaring anak-anak dengan wilayah yang dekat dengan sekolah, kok malah memprioritaskan umur dalam pendaftarannya?  Alhasil bener aja, pas saya liat di bagian seleksi bahkan yang urutan pertama rumahnya lebih jauh dari jarak rumah saya ke sekolah tersebut. 

Miris, jalur zonasi lebih seperti jalur usia. 

Adik saya cuma bisa nangis karena gak bisa berbuat apa-apa. Usaha dia belajar seperti tidak dihargai.  Mimpinya seperti dihancurkan gitu aja. Saya gak kebayang kalo saat itu saya yang ada di posisi dia. Saat itu saya cuma bisa nenangin adik saya dan terus doa buat coba jalur lainnya.

Untung saja masih ada jalur prestasi akademik. Awalnya saya sempat pesimis karena saya kira jalur tersebut juga tetap memprioritaskan usia. Namun, alhamdulillah ternyata dugaan saya salah. Saat tiba jalur pendaftaran prestasi akademik dibuka pada 1 Juli 2020, saya bisa bernapas lega karena penilaian diurutkan dari nilai rata-rata rapot semester dikalikan dengan nilai akreditasi sekolah.

Untuk pertama kalinya pemberian nama "Jalur Prestasi Akademik" digunakan dengan semestinya, tidak seperti jalur sebelumnya.

Pada saat ini akhirnya adik saya bisa tersenyum lega karena tau usahanya selama ini tidak mengkhianati hasil. Jerih payahnya untuk belajar berujung pada mendapatkan sekolah yang diidamkannya meskipun melewati jalur yang tidak mulus sebelumnya.

Ketika tulisan ini saya publish, alhamdulillah adik saya sudah diterima di SMPN 255 Jakarta, salah satu sekolah unggulan di Jakarta. Semoga kita semua bisa meraih cita-cita kita, jangan takut buat bermimpi, dan jangan lupa diiringi dengan doa dan usaha!

SMPN 255 Jakarta (Sumber: Kemendikbud)

Sekian pengalaman saya dan adik saya di PPDB DKI 2020. Semoga ke depannya DKI bisa berbenah untuk melaksanakan PPDB yang menguntungkan semua pihak dan disertai sosialisasi yang baik kepada semua lapisan masyarakat agar semua orang bisa mendapatkan haknya. Buat yang mengalami hal yang sama, boleh share juga di kolom komentar. Terima kasih sudah membaca!^^

Related Posts:

14 Responses to "Korban Zonasi PPDB DKI 2020: Seleksi Berdasarkan Usia"

  1. Pasti negara punya alasan atas program ini, dan mereka juga pasti tau kalau ini resiko nya. Saya turut berfuka bagi korban yang terkena kerugian atas program ini. Bersabar...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, semoga emang keputusan itu udah dipertimbangin matang-matang sama pemerintah

      Hapus
  2. Sejak awal ada zonasi aja jujur saya malah heran mbak. Karena dari segi persiapannya itu saya rasa bener2 kurang. Pengennya sih bagus, pengen memeratakan kualitas pendidikan. Eh tapi masih banyak masalahnya entah itu sarprasnya yang belum merata dan yang di Jakarta ini kayanya lebih kurang masok lagi kalau didasarkan sama usia. Jadi menurut saya masih banyak yang perlu ditinjau lagi sih masalah zonasi ini, biar nggak semakin banyak siswa yang merasa dirugika

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya bener, waktu pertama kali ada sistem zonasi berdasarkan wilayah tempat tinggal saya juga sempat resah. Cuma akhirnya menerima karena mungkin maksudnya supaya menghapuskan kesenjangan di sekolah. Tapi kalo ditambah jadi berdasarkan usia gini sebagai prioritasnya sih tambah miris lagi

      Hapus
  3. Sistem zonasi ini menurut saya memang masih meninggalkan lubang-lubang kak. Kemarin ponakan juga lagi daftar SMP, dia udah bingung aja karena namanya dilempar ke sekolah yang jauh. Alhasil ponakan daftar MTs. Eh, pas hari terakhir namanya nyantol di SMP yang dia mau. Entah apa yang membuatnya kembali di situ. Jadilah uang pendaftaran d MTs melayang. Tapi alhamdulilah ponakan bisa sekolah di SMP yang dia mau.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduh sayang juga ya uang pendaftarannya melayang:( iya, emang banyak yang harus dibenahi berarti supaya hal-hal kayak gitu gak kejadian lagi dan sistemnya semakin matang ke depannya. Alhamdulillah tapi akhirnya keterima di sekolah yang dipingin

      Hapus
  4. aku ikut prihatin nih, kok bisa ya seperti itu ya min :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih, kenyataannya begini sistem pendidikan kita. Semoga ke depannya pemerintah bisa belajar dari kesalahan dan berbenah lagi

      Hapus
  5. Jangankan Zonasi, kebijakan belajar dirumah, pake quota sendiri, bayaran sekolah tetap jalan dan tidak diringankan, orang tua yg belajar, murid yang bermain, bagaimana nasib di Daerah2 terpencil yang belum memahami teknologi Daring.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, setuju. Emang untuk beberapa kasus ga bisa disamaratakan untuk belajar di rumah apalagi yang tinggalnya di daerah-daerah terpencil yang minim jaringan internet. Semoga cepat ada solusinya

      Hapus
  6. Miris emang.. Pendidikan negeri ini seperti belom menemukan pola yang cocok untuk pendidikan anak bangsa.. Setiap ganti mentri mesti ganti program juga.. Miris, angkatanku banget yang selalu dijadikan kelinci percobaan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, itu yang sangat disayangkan. Setiap pergantian jabatan, bukannya memperbaiki dan meneruskan program yang sudah ada, tapi malah diganti total yang berakhir setiap kebijakan yang dikeluarkan kurang matang. Sama, angkatan saya juga pernah jadi kelinci percobaan

      Hapus
  7. Menurut saya program zonasi ini sungguh tidak adil, anak yang berpotensi untuk bersekolah di sekolah favorit harus terkendala oleh zonasi. Sungguh miris :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya benar, saya juga setuju. Seperti mematikan semangat siswa untuk mendapatkan sekolah impiannya. Tapi mau gimana lagi, memang sistemnya kayak gini. Semoga ke depannya bisa lebih baik lagi

      Hapus